Since24News.com|Pematangsiantar – Buku Zaman Peralihan ini adalah buku yang berisi kumpulan esai-esai Soe Hok Gie (dalam rentang tahun 1966-1969), yang pernah dimuat di berbagai media cetak tanah air, seperti Sinar Harapan, Indonesia Raya, dan Kompas. Membaca buku ini mengantarkan kembali kemasa transisi pemerintahan dari orde lama ke awal pemerintahan orde baru (akhir pemerintahan Soekarno ke awal pemerintahan Soeharto). walaupun ditulis pada sekitar tahun 60-an, isinya masih relevan jika kita baca sekarang.
Pada buku ini terlihat adalah sosok Soe Hok Gie yang merupakan seorang mahasiswa, aktivis, dan kemudian menjadi dosen UI. Tulisan dalam buku ini terdiri dari 4 bab yaitu masalah kebangsaan, masalah kemahasiswaan, masalah kemanusiaan, dan catatan turis terpelajar (catatan Soe Hok Gie ketika ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Amerika dan Australia selama 70 hari perjalanan yang ia habiskan untuk pergi dari kampus ke kampus di dua negara tersebut).
- Masalah Kebangsaan
Bagian pertama diawali dengan tulisan Soe Hok Gie yang berjudul “Di Sekitar Demonstrasi-Demonstrasi Mahasiswa” di Jakarta yang menceritakan berdirinya organisasi (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dalam upaya pembersihan PKI/Gestapu, lalu terbunuhnya 2 mahasiswa dalam demonstrasi (Arief Rachman Hakim, dan Zubaidah), hingga dibubarkannya KAMI secara sepihak oleh Soekarno.
Soe Hok Gie juga menyinggung soal “Kebebasan Pers dan Kekecewaan Masyarakat”. Awal masa Orde Baru, kebebasan pers kembali pulih, dan menimbulkan kegembiraan. Namun, di sisi lain, masyarakat juga frustasi. Sebab, berita-berita tentang korupsi maupun penyelewengan oleh pejabat serta atasan dapat dengan mudah dibaca. Kekecewaan ini ditambah dengan tidak sigapnya aparat dalam melakukan penegakan hukum.
Soe Hok Gie juga mengkritik berbagai bentuk penyimpangan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moralitas, misalnya soal korupsi, pelacuran intelektual, atau soal demoralisasi lainnya bahkan Gie tidak segan-segan menyebut nama-nama oknum yang diduga terlibat dalam berbagai penyimpangan, tindakan Gie bisa dianggap nekat dan berbahaya di zamannya, tetapi itu lah Gie, dia mampu mengembalikan simbol-simbol budaya yang acapkali memanipulasi kenyataan atau istilah sekarang yaitu hoaks (berita bohong) yang mulai menguasai media dan masyarakat awal menjadi korban hoaks terutama isu-isu tentang politik.
- Masalah Kemahasiswaan
Tulisan “Wajah Mahasiswa UI yang Bopeng Sebelah” ada di bab ini. Soe Hok Gie mengkritik bobroknya dunia mahasiswa, termasuk kawan-kawannya di Universitas Indonesia (UI). Beragam penyelewengan dilakukan, seperti korupsi, hingga rusaknya demokrasi di dunia mahasiswa. Ia menyinggung Organisasi Mahasiswa Eksternal (Ormek) bahkan Ormas, yang ikut campur urusan organisasi mahasiswa secara dominan, dan membuat mahasiswa non-ormas jengkel. Gie menggambarkan bahwa kampus merupakan “republik kecil” dan cerminan warga negara dalam “republik besar”. Ia juga berpendapat, agar soal-soal ini harus dibuka ke muka umum.
“Bagi saya KEBENARAN walau bagaimanapun sakitnya adalah lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.” (hal 168)
Pada bagian kedua ini Soe Hok Gie menuliskan cerita tentang mahasiswa-mahasiswa Pei Ta—Universitas Peking berjuang melawan kediktatoran Mao Ze Dong yang berakhir tragis, lalu masa-masa akhirnya menjadi mahasiswa, bobroknya kalangan mahasiswa UI dan tabiat dosen-dosen suka membolos sampai 50% per semester.serta sikap mahasiswa yang bermental sok kuasa.
“Merintih kalau ditekan, tapi menindas kalau berkuasa.” (hal 150)
Soe Hok Gie menyoroti dunia kemahasiswaan di Indonesia dari refleksi dirinya sendiri sebagai mantan aktivis mahasiswa. Gie pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa UI dan merupakan pendiri organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UI. Gie dengan gayanya yang tidak kenal takut mengkritik almamaternya sendiri melalui tulisan “Wajah Mahasiswa UI yang Bopeng Sebelah” yang dimuat di harian Indonesia Raya, 22 Oktober 1969.
Gie membongkar kebobrokan di kalangan mahasiswa UI. Bagi Gie, kebobrokan di lingkungan kecil tingkat organisasi kemahasiswaan merupakan pencerminan adanya kebobrokan pada lingkungan yang lebih luas yaitu di masyarakat dan pemerintahan. Kritik yang diutarakan Gie di era 1960an tampaknya sangat relevan dengan dunia mahasiswa di era saat ini, mahasiswa-mahasiswa Indonesia saat ini (meski tidak semuanya) sangat berorientasi pada pemuasan kepentingan diri sendiri, tidak peka lagi pada masalah-masalah kemasyarakatan di tanah air.
III. Masalah Kemanusiaan
Di bagian ke-3 ini membuat perasaan bercampur aduk. Esai pertamanya adalah “Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-besaran di Pulau Bali”. Bersama aktivis angkatan ‘66, Gie turut aktif dalam aksi pengganyangan PKI setelah terjadi Gerakan 30 September. Namun, Gie juga salah satu orang pertama yang bersuara, ketika terjadi penyimpangan terhadap para tahanan terduga PKI.
Dalam 3 bulan, ada sekitar 80.000 jiwa yang dieksekusi mati, tanpa proses pengadilan. Banyak dari mereka yang berharap agar langsung dibunuh, agar tak merasakan kejinya proses eksekusi. Bali yang kita kenal indah, menjadi neraka penyembelihan.
Soe Hok Gie juga menulis tentang kematian Sutan Sjahrir, dan para tahanan lain yang yang dihukum tanpa diadili, hingga mati perlahan, salah satunya Prof. Dr. Soekirno. Lalu soal diberlakukannya syarat-syarat baru, seperti dalam bekerja atau masuk sekolah, yakni wajib memiliki surat tidak terlibat G30S. Ia juga menyinggung kaum intelektual agar mau bicara dan bertindak terhadap pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan yang terjadi.
- Catatan Turis Terpelajar
Bab terakhir, Gie menulis pengalamannya selama berkunjung ke luar negeri. Ia muak dengan birokrasi di Indonesia. Dalam tulisan “Saya Bukan Wakil KAMI”, ia sempat ditahan saat hendak mengurus paspor untuk ke AS. Selain harus punya surat keterangan tidak terlibat G30S, Gie yang merupakan keturunan Tionghoa, dipertanyakan status kewarganegaraannya oleh pegawai imigrasi. Padahal, ia sudah membuktikan bahwa dirinya adalah pegawai negeri (dosen Fakultas Sastra UI), dan Ketua Senat FSUI.
“Lucu sekali rasanya, saya tidak pernah berpikir sedetik pun, bahwa saya bukan bangsa Indonesia. Tiba-tiba saya harus membuktikan bahwa saya adalah warga negara Indonesia.” (hal 229)
Di sekitar New York, Gie menulis “Masalah Identitas Negro di Amerika”. Di AS telah lama ditanamkan pada masyarakat bahwa black is bad, orang-orang Negro malu berkulit hitam. Dari sini, Gie yang sebelumnya jijik dengan cara politik dan korupsinya Soekarno, menjadi sadar. Bahwa dengan segala kegilaannya, Soekarno telah memberi sesuatu pada bangsa, yaitu identitas diri. Kawan-kawannya di sana merasa kagum dengan Indonesia, terutama dalam bidang bahasa dan pendidikan.
Kesimpulan:
Membaca buku Zaman Peralihan mengajak kita untuk kembali melihat kejadian di masa-masa sebelumnya. Isinya masih relevan, walaupun berarti disayangkan. Kebobrokan masih terjadi dalam penyelenggaraan pemerintah, hukum, bahkan di tingkat mahasiswa. Dan Soe Hok Gie berpendapat agar kita tak perlu malu jika “borok-borok” kita diketahui.
Justru, ini dapat menjadi salah satu jalan untuk membersihkan ‘borok’ atau ‘kudis’ yang melekat. Karena menurut Gie, kebenaran walau bagaimanapun lebih baik ketimbang kemunafikan. Ia menambahkan, “lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”
Melalui bukunya, Soe Hok Gie menantang pembaca untuk terus bersikap kritis terhadap realitas di sekitar mereka. Ia mendorong generasi muda untuk tidak terjebak dalam kemapanan dan keterpurukan moral, melainkan mengambil peran aktif dalam membentuk arah perubahan yang lebih baik bagi bangsa. ‘Zaman Peralihan’ bukan sekadar buku sejarah, namun juga sebuah karya sastra yang memancarkan semangat perlawanan dan keinginan untuk melihat perubahan positif.
Oleh : Oktavia Sihotang
(Simpatisan Kelompok Studi Pendidikan Merdeka)