Since24News.com|Soekarno dilahirkan pada saat fajar kebangkitan bangsa Indonesia mulai menyingsing, yaitu masa permulaan era kebangkitan dan pergerakan nasional. Tepatnya pada Kemis pon 18 Sapar 1831 tahun saka, atau bertepatan dengan 16 Juni 1901 Masehi, di Lawang Sekewang, Surabaya.
Soekarno adalah anak kedua dari Idayu Nyoman Ray, yang berasal dari Bali dan ayahnya R. Soekemi Sosrodihardjo, berasal dari Jawa. Soekarno, memiliki seorang Kakak yang bernama soekarmini.
Soekarno, juga masih memiliki seorang kakek yang pada saat itu, dipandang oleh masyarakat sekitar mempunyai ilmu hikmah atau (ilmu gaib) dan juga seorang yang memiliki ahli kebatinan. Kakeknya tersebut bernama Raden hardjodikromo.
Ayah Soekarno yakni Soekemi, termasuk dari keturunan Sultan Kediri dan beragama Islam, meskipun dalam prakteknya menjalankan ajaran theosofi Jawa. Soekemi termasuk orang yang berpendidikan, dan tamatan sekolah guru di Probolinggo, Jawa timur.
Semasa di sekolah, Soekemi termasuk salah seorang murid terpandai. Sehingga mendapatkan kehormatan untuk menjadi guru dan mengajar di sekolah Rendah di Bali. Ia juga menjadi pembantu Profesor Van Der Tuuk, pada waktu bertugas di Bali.
Disinilah, ayah dari Soekarno menyunting seorang gadis Bali yang kemudian menjadi ibu Soekarno. Selanjutnya, tidak lama kemudian, Soekemi dipindahkan ke Kota Surabaya dan tetap menjabat sebagai guru, walaupun dengan gaji kecil yang membuatnya sangat amat memberatkan untuk hidup di Surabaya.
Soekemi sangat menggemari wayang kulit. Cerita wayang kulit baginya banyak mengandung filsafat dan pelajaran yang amat dalam, tinggi isi dan nilainya. Kegemaran ini kemudian, nantinya menurun kepada anaknya, Soekarno.
Ibu Soekarno adalah kelahiran Bali tepatnya dari kasta Brahmana, dan berasal dari keturunan bangsawan. Setidak-tidaknya ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa Raja Singasari yang terakhir adalah termasuk pamannya.
Kemudian, dilihat dari garis ayahnya, Soekarno berasal dari keturunan priyayi rendahan. Serta, Kedudukan sosial-ekonomi keluarga Soekemi hanya agak sedikit lebih baik dari golongan kebanyakan bangsa Indonesia pada saat itu, yang mana nantinya dikemudian hari disebut oleh Soekarno dengan istilah “Marhaen”. Tetapi bila dilihat dari kacamata agama dan kepercayaan, Soekarno dapat digolongkan sebagai orang yang berasal dari golongan ‘abangan’, yaitu golongan penduduk Jawa Muslim, yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks.
Pada masa kecil, Soekarno, adalah anak yang sering menderita sakit. Tak heran dengan kondisi tersebut, menjadikan sebab orang tua Soekarno cenderung memindahkan nya Ke kota Tulung agung, yang nantinya mengikuti kakeknya yang kebetulan pandai ‘ilmu hikmah’ dan pandai mengobati penyakit dengan ilmu gaibnya.
Sang kakek, sangat sayang pada Soekarno, bahkan cenderung memanjangkan. Inilah yang kemudian kadang dipandang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Soekarno menjadi anak yang keras kepala. Yang mana di masa kecilnya, Soekarno sering dijuluki oleh teman-temannya sebagai “jago”.
Di usia ke enam tahun, kegemaran ayahnya nonton wayang kulit, sudah mulai menurun kepadanya. Tidak jarang Soekarno menonton wayang kulit sampai larut malam.
Ayahnya (yang terdidik dan penganut theosofi dan juga keturunan priyayi) serta kakeknya (yang sangat memanjakan nya dan ibunya (yang berasal dari keturunan bangsawan bali dan penganut agama Hindu), tentu banyak mempengaruhi kehidupan Soekarno di kemudian hari. Tetapi tidak hanya itu saja, Sarinah seorang anggota keluarganya (lebih tepat seorang pembantu rumah tangga) yang ikut membesarkan Soekarno, juga banyak mempengaruhi Soekarno. Dialah yang mengajarkan Soekarno cinta kasih terhadap rakyat jelata.
Kemudian, melalui wayang kulit, Soekarno tersosialisasikan dalam budaya Jawa, yang kemudian turut pula membentuk kepribadiannya.
Ciri atau sifat kebudayaan jawa yang sangat menonjol adalah sinkretisme yaitu suatu proses perpaduan yang sangat beragam dari beberapa pemahaman kepercayaan atau aliran-aliran agama. Pada sinkretisme terjadi proses mencampuradukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan.
Dengan sifat sinkretisme, memungkinkan orang Jawa untuk memadukan apa yang baik dari dalam dirinya sendiri dengan apa yang dianggap baik dari luar. Melalui proses perpaduan itu perubahan di masyarakat jawa terjadi tanpa kehilangan landasan dasar kebudayaan sendiri, sebagai tempat berpijak. Sinkretisme ini bukan hanya saja terlihat dalam kehidupan politik, tetapi juga dalam kehidupan beragama masyarakat Jawa.
Pendidikan formal Soekarno untuk pertama kalinya dijalani di sekolah dasar di Tulung Agung, tatkala ia masih bersama dengan kakeknya. Soekarno tidak termasuk murid yang rajin, meskipun bukan berarti anak yang bodoh. Ia lebih senang mengenang cerita-cerita wayang yang pernah diketahuinya. Meskipun demikian, ia termasuk murid yang suka bertanya mengenai apa saja yang kurang dimengerti. Baik kepada gurunya atau kepada orang tuanya.
Berkat sering bertanya inilah pengetahuannya bertambah melebihi teman-temannya. Ayahnya yang kebetulan seorang pendidik, menjadi semacam pembantu gurunya dalam pendidikan Soekarno.
Ayah Soekarno yakni Soekemi, adalah seorang guru yang keras. Sekalipun telah berjam-jam belajar, Soekarno masih selalu disuruh ayahnya untuk belajar membaca dan menulis. Hal ini dilakukan ayahnya setelah Soekarno pindah sekolah daei Tulung agung ke sekolah angka dua (angka loro) di Sidoarjo. Pada waktu berusia 12 tahun, Soekarno pindah ke sekolah angka satu di Mojokerto dan duduk di kelas 6 dan di sana ia menjadi murid yang terpandai
Karena kecerdasannya yang gemilang, Soekarno dipindahkan kembali oleh sang ayah ke europeese legere school (ELS) Mojokerto dan turun ke kelas lima. Di sekolahnya yang baru ini, Soekarno sangat giat belajar, sehingga menjadi termasuk murid yang menonjol. Ia tampak gemar belajar ilmu bahasa, menggambar dan berhitung. Di samping itu, di luar sekolah, Soekarno mengambil les pelajaran bahasa Prancis pada Brynette de la Roche Brune, sehingga pengetahuannya semakin maju pesat.
Tamat dari (ELS) Mojokerto, studinya dilanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. (HBS) merupakan sekolah yang sukar di masuki oleh seorang inlander (bumi putera), karena terhitung mahal. Tapi justru di (HBS) inilah buat pertama kalinya Soekarno mengenal teori Marxisme dari seorang gurunya, C. Hartogh, penganut paham sosial demokrat.
Perkembangan intelektual Soekarno sangat pesat yang didorong oleh kemiskinannya. Kemiskinan mengakibatkan Soekarno tidak dapat mencari hiburan yang bersifat materil. Sebagai gantinya ia mencari hiburan dalam dunia cita dan alam ilmu pengetahuan, dengan jalan membaca. Menurut pengakuannya, dengan membaca seolah-olah ia dapat bertemu dengan orang-orang besar dari segala bangsa.
Dorongan membaca ini mendapat dukungan dari lingkungannya, sebab selama belajar di Surabaya, Soekarno tinggal di rumah Haji Oesman Said Tjokroaminoto. Dan nyonya tjokro sangat memperhatikan disiplin pelajar-pelajar yang tinggal di rumahnya. Tapi yang lebih penting adalah kepemimpinan Tjokroaminoto sendiri. Soekarno tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk magang politik dari Tjokroaminoto yang merupakan pemimpin politik orang Jawa. Ia dijuluki sebagai “raja yang tidak dinobatkan”. (Snc/Dilansir dari buku Soekarno)